Desember 11, 2025

Banda Aceh – Presiden Prabowo Subianto memberikan teguran keras yang menohok kepada para kepala daerah, khususnya bupati, yang dinilai tidak siap berada di garis depan saat wilayahnya dilanda krisis dan bencana. Sindiran tajam itu dilontarkan Presiden di tengah sorotan publik terhadap kasus absennya Bupati Aceh Selatan, Mirwan, yang memilih menunaikan ibadah umrah di tengah musibah banjir bandang yang melanda daerahnya, tanpa mengantongi izin resmi.

Pernyataan ini disampaikan Prabowo dengan nada tegas namun diselingi humor khasnya saat memimpin Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanganan Bencana di Banda Aceh, Minggu (7/12/2025). Pertemuan yang dihadiri oleh sejumlah menteri kabinet dan seluruh kepala daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota ini menjadi forum evaluasi kesiapsiagaan nasional dalam menghadapi tantangan bencana alam.


🚨 Desersi Militer dalam Panggung Pemerintahan Sipil

Awalnya, Presiden Prabowo menyampaikan apresiasi atas kehadiran dan perjuangan para kepala daerah. “Terima kasih, hadir semua bupati? Terima kasih ya para bupati. Kalian yang terus berjuang untuk rakyat. Memang kalian dipilih untuk menghadapi kesulitan,” ujar Prabowo, memberikan pengakuan terhadap tanggung jawab besar yang diemban.

Namun, suasana berubah tegang saat Prabowo mulai menyinggung etika kepemimpinan di tengah situasi darurat. Merespons kasus-kasus kepala daerah yang meninggalkan wilayah saat bencana, Prabowo tidak ragu menggunakan analogi militer yang sangat keras, yaitu desersi.

“Kalau ada yang mau lari, lari saja enggak apa-apa… hehe. Copot. Mendagri bisa ya diproses ini?” sentil Presiden, langsung menunjuk Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian.

“Bisa, Pak,” sahut Mendagri Tito Karnavian, menegaskan kesiapan kementeriannya untuk menindaklanjuti.

Prabowo melanjutkan penegasannya: “Itu kalau tentara namanya desersi. Dalam keadaan bahaya, meninggalkan anak buah, waduh… itu enggak bisa. Saya enggak mau tanya partai mana. Sudah kau pecat?”

Penggunaan istilah “desersi” (tindakan meninggalkan tugas tanpa izin atau alasan sah dalam kondisi darurat, khususnya di lingkungan militer) oleh Prabowo merupakan tamparan yang sangat keras. Hal ini menyiratkan bahwa bagi seorang pemimpin daerah, meninggalkan rakyat saat bencana sama fatalnya dan tidak dapat ditoleransi, setara dengan pengkhianatan tugas di medan perang. Pesan ini melampaui isu administratif perizinan, menyentuh inti moralitas kepemimpinan.


🔎 Kasus Aceh Selatan: Momentum Tepat Teguran Presiden

Sindiran Presiden Prabowo ini secara spesifik bertepatan dengan polemik yang menimpa Bupati Aceh Selatan, Mirwan. Bupati tersebut diketahui meninggalkan kabupatennya pada saat banjir bandang melanda wilayahnya. Informasi yang beredar luas menyebutkan bahwa kepergiannya ke Tanah Suci untuk ibadah umrah dilakukan tanpa mengantongi izin resmi dari atasan, yaitu Gubernur Aceh.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), melalui juru bicaranya, sebelumnya telah mengonfirmasi bahwa mereka sedang mendalami kasus ini. Jajaran Sekretariat Daerah (Setda) Aceh Selatan telah diperiksa untuk mengumpulkan fakta terkait prosedur perizinan dan manajemen krisis saat bupati tidak berada di tempat.

Sikap tegas Prabowo yang meminta Mendagri segera mengambil tindakan dan memproses pencopotan (pemecatan) kepala daerah yang desersi menunjukkan bahwa kasus Bupati Mirwan bukan hanya masalah personal atau administratif, melainkan pelanggaran serius terhadap sumpah jabatan dan tanggung jawab publik.

“Saya lihat bupati pada senyum semua itu? Pokoknya kita dukung terus,” tutup Presiden, mengakhiri tegurannya dengan senyum, namun dengan penegasan bahwa pemerintah pusat akan selalu mendukung kepala daerah yang bekerja keras di garis depan, seraya memberikan sanksi bagi yang lalai.


🌍 Era Disaster Leadership dan Akuntabilitas Kepala Daerah

Pernyataan Prabowo ini menjadi penekanan penting dalam era disaster leadership (kepemimpinan saat bencana). Bencana alam di Indonesia, yang intensitas dan frekuensinya kian meningkat akibat perubahan iklim, menuntut kepala daerah untuk menjadi komandan lapangan utama.

Tanggung Jawab Kepala Daerah dalam Bencana:

  1. Pengambil Keputusan Cepat: Memutuskan status siaga, darurat, dan mengalokasikan sumber daya.
  2. Koordinator Utama: Menghubungkan semua stakeholder (TNI/Polri, BPBD, relawan, dan kementerian/lembaga pusat).
  3. Wajah Pemerintah: Memberikan ketenangan dan jaminan kepada masyarakat yang terdampak.

Keputusan seorang kepala daerah untuk meninggalkan wilayah saat bencana tidak hanya melumpuhkan rantai komando, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik. Ini adalah kegagalan fatal dalam fungsi komandan lapangan.

Kini, bola panas berada di tangan Mendagri Tito Karnavian. Langkah politik dan administratif yang akan diambil terhadap Bupati Aceh Selatan Mirwan akan menjadi preseden penting yang menentukan standar akuntabilitas kepemimpinan di Indonesia dalam menghadapi krisis. Teguran keras dari Presiden Prabowo Subianto ini harus menjadi pengingat permanen bagi seluruh kepala daerah: bahwa jabatan adalah amanah yang wajib dipertahankan dengan loyalitas penuh, terutama saat rakyat sedang membutuhkan pertolongan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *