Oktober 18, 2025

Jakarta – Di tengah gejolak pasar yang tak menentu, harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang terus menunjukkan pelemahan justru membuka celah menarik bagi investor berorientasi jangka panjang. Valuasi saham BBCA kini dinilai semakin murah dan prospektif, menjadikannya pilihan utama di sektor perbankan Indonesia.

Pada penutupan perdagangan Senin, 13 Oktober 2025, saham BBCA ditutup melemah 1,01% ke level Rp7.325 per saham. Angka ini membawa rasio Price to Book Value (PBV) BBCA ke level 3,45x, yang tergolong rendah jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya yang sering diperdagangkan di atas 4x. Dengan kapitalisasi pasar yang kini berada di bawah Rp1.000 triliun, harga saham BBCA bahkan mendekati titik terendah dalam tiga tahun terakhir.

Momentum Tepat untuk Entry?

Penurunan signifikan ini, yang diperparah dengan ambruknya saham BBCA hingga 2,64% ke Rp7.375 pada perdagangan Rabu, 8 Oktober 2025 (menjadi penutupan terendah dalam tiga tahun terakhir), terjadi ketika Indeks Harga Saham Gabungan (c) justru mencatatkan rekor all time high (ATH) dari hari ke hari. Sepanjang tahun ini (YtD), IHSG telah menguat 15,34%, sementara saham BBCA justru anjlok 23,77%. Kontribusi pelemahan BBCA bahkan menjadi laggard teratas, menekan IHSG lebih dari 145 poin tahun ini.

Beberapa analis menilai koreksi ini tidak lepas dari sentimen pelemahan nilai tukar rupiah dan potensi kenaikan suku bunga deposito valas, serta sentimen negatif dari arus keluar dana asing yang masif. Tercatat, sepanjang tahun ini, Rp31,19 triliun dana investor asing telah keluar dari saham BBCA, angka terbesar di bursa dan hampir dua kali lipat lebih besar dari emiten kedua yang paling banyak ditinggal modal asing. Hingga September 2025, kepemilikan asing menciut dari 35,86% pada Januari menjadi 33,24%.

Meskipun demikian, penurunan harga ini justru menciptakan momentum tepat bagi investor untuk masuk ke saham perbankan berfundamental kuat. Riset dari BRIDanareksa Sekuritas, misalnya, tetap mempertahankan rekomendasi “Netral” untuk sektor perbankan dengan BBCA sebagai saham pilihan utama. “Kami berhati-hati terhadap kualitas aset, namun BBCA tetap menjadi opsi jangka panjang terbaik,” tulis laporan tersebut. BRIDanareksa bahkan menetapkan target harga Rp11.900 untuk BBCA, didukung oleh pertumbuhan laba yang berkelanjutan dan kualitas aset yang lebih baik dibanding bank lainnya.

Fundamental Solid di Tengah Tantangan

Dari sisi kinerja keuangan, perlambatan pertumbuhan laba BBCA memang menjadi perhatian pasar. Sepanjang paruh pertama tahun ini, laba bersih BBCA tercatat Rp29 triliun, tumbuh 8% secara tahunan (year-on-year). Angka pertumbuhan ini merupakan yang terendah dalam dua tahun terakhir dan secara kuartalan terus melambat selama empat kuartal beruntun. Pada kuartal II/2025, laba BBCA yang diatribusikan ke pemilik entitas induk hanya tumbuh 6,2% quarter-on-quarter (QoQ), mendekati level terendah kuartal akhir 2023 yang hanya tumbuh 3,7% QoQ.

Namun, di balik perlambatan tersebut, fundamental BBCA tetap kokoh. Riset Samuel Sekuritas menyoroti dampak positif pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 50 basis points (bps) dalam sebulan terakhir, yang berpotensi mendorong pertumbuhan kredit di segmen korporasi dan UMKM karena biaya pinjaman lebih rendah. Meskipun permintaan kredit masih lemah dan ada potensi kenaikan provisi, BBCA dinilai tetap unggul.

Keunggulan BBCA terletak pada efisiensi biaya modal (Cost of Capital/CoC) yang rendah, hanya 0,5%, serta rasio Current Account Savings Account (CASA) terdepan di industri. Selain itu, Return on Equity (ROE) BBCA mencapai 25,2%, jauh di atas rata-rata sektor sebesar 18,4%. Tingkat kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) di perbankan secara umum masih relatif tinggi, dan pertumbuhan kredit (loan growth) masih di angka 7,5%, namun BBCA mampu menjaga kualitas asetnya dengan baik. Hingga Agustus 2025, BCA membukukan laba bersih bank only sebesar Rp39,06 triliun, tumbuh 8,52% YoY, dan menyalurkan kredit Rp920,87 triliun, tumbuh 9,28% YoY.

Risiko dan Pandangan ke Depan

Rully Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, menjelaskan bahwa kekhawatiran investor asing masih membayangi sektor perbankan, ditambah dengan rencana pemerintah untuk menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini menjadi salah satu risiko fiskal yang diambil pemerintah dan berdampak pada stabilitas yang dicari investor asing.

Namun, rekam jejak BBCA menunjukkan ketahanan luar biasa. Selama 24 tahun terakhir, sejak tahun 2000, saham BBCA hanya sekali mencatat kinerja merah secara tahunan, yakni saat krisis 2008 dengan koreksi 10,96%. Meskipun tahun 2025 ini saham BBCA sudah anjlok lebih dari 23% dalam sembilan bulan, kombinasi valuasi yang murah, fundamental kuat, dan posisi pasar yang solid, para analis menegaskan bahwa BBCA tetap menjadi saham unggulan di sektor perbankan Indonesia.

Dengan demikian, di tengah sentimen negatif dan gejolak pasar, pelemahan harga saham BBCA justru menjadi kesempatan strategis bagi investor jangka panjang untuk mengakumulasi saham berfundamental kuat ini. Potensi rebound didukung oleh outlook ekonomi yang membaik dan inovasi perbankan digital yang terus dikembangkan oleh BCA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *