
Karibia di Pusaran Geopolitik: Perang Narkoba AS dan Bayang-Bayang Konflik Venezuela

Situasi di Karibia memanas. Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, mengumumkan serangan mematikan terbaru terhadap kapal penyelundup narkotika di wilayah tersebut, sebagai penegasan kembali perang Washington terhadap rezim yang dituding mendukung kartel narkoba. Serangan ini, yang menewaskan tiga orang di perairan internasional, hanyalah satu dari belasan insiden serupa yang telah menelan korban jiwa sedikitnya 64 orang sejak September. Di balik narasi “perang melawan narkoba” ini, tersimpan dinamika geopolitik yang lebih kompleks, mengindikasikan perebutan pengaruh global di tengah tatanan dunia multipolar.
Hegseth mengklaim bahwa kapal yang diserang pada Sabtu (1/11/2025) terlibat dalam penyelundupan narkotika ilegal, dan para awaknya adalah “teroris narkotika.” Namun, operasi-operasi semacam ini telah memicu kekhawatiran dari kelompok hak asasi manusia dan pakar hukum. Kepala Badan Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, menyebut serangan tersebut “tidak dapat diterima” dan menyerukan penyelidikan independen atas apa yang digambarkan kantornya sebagai pembunuhan di luar hukum. Tuduhan AS terhadap Presiden Venezuela Nicolas Maduro sebagai pemimpin “Cartel de los Soles,” sebuah jaringan perdagangan narkoba yang ditetapkan sebagai organisasi teroris pada Juli 2025, semakin menambah ketegangan.
Venezuela: Target Strategis dalam Perang Geopolitik

Meskipun Presiden AS Donald Trump membantah laporan media tentang serangan militer yang akan datang di Venezuela, ketegangan di wilayah tersebut nyata. Laporan-laporan sebelumnya menyebutkan rencana serangan udara terhadap instalasi militer Venezuela yang digunakan oleh Cartel de los Soles, dengan tujuan menghancurkan infrastruktur penyelundupan kokain. Washington bahkan telah menggandakan hadiah untuk informasi tentang Maduro menjadi $50 juta.
Gerak-gerik militer AS di dekat pantai Venezuela, termasuk pengerahan delapan kapal Angkatan Laut, pesawat tempur siluman F-35, dan gugus tugas kapal induk ke Karibia, memicu kekhawatiran Venezuela. Presiden Maduro menuduh Washington “memalsukan” perang melawan negaranya, menyebut tuduhan AS “vulgar” dan “sepenuhnya palsu,” serta bersikeras bahwa Venezuela “tidak memproduksi daun kokain.” Maduro melihat peningkatan kekuatan militer AS sebagai bagian dari rencana untuk memaksakan perubahan rezim dan menyita cadangan minyak negaranya.
Geopolitik yang melandasi konflik ini jauh melampaui isu narkotika. Secara historis, AS memandang Amerika Latin sebagai “halaman belakangnya” melalui Doktrin Monroe (1823). Dalam konteks kontemporer, doktrin ini dihidupkan kembali oleh Trump sebagai justifikasi untuk menekan Venezuela, yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia. Teori Realisme Ofensif dari John Mearsheimer menjelaskan perilaku ini sebagai dorongan alami negara besar untuk mempertahankan dominasi melalui penguasaan sumber daya dan pengaruh geopolitik. Dengan demikian, operasi “anti-narkotika” bisa jadi merupakan proxy policy untuk memastikan AS tidak kehilangan hegemoni energi dan kontrol geopolitik di belahan barat.
Aliansi Timur dan Pergeseran Tatanan Dunia
Sejak sanksi ekonomi pada 2018, Venezuela telah beralih ke poros Timur—Rusia, Tiongkok, dan Iran—untuk bertahan. Dukungan militer Rusia, seperti sistem rudal S-300 dan pesawat tempur Sukhoi, menjadi simbol penolakan terhadap dominasi Washington. Konflik ini menyoroti strategi kontra-hegemonik BRICS+, di mana Rusia dan Tiongkok menentang aksi militer AS melalui Dewan Keamanan PBB. Dalam kerangka Teori Sistem Dunia Immanuel Wallerstein, Venezuela dapat dilihat sebagai bagian dari “semi-periferi” yang mencoba membebaskan diri dari dominasi ekonomi-politik “negara inti” (AS dan sekutunya). Ketegangan ini menandai benturan sistemik antara tatanan unipolar (AS-NATO) dan multipolar (BRICS), sebuah konflik ideologis tentang siapa yang berhak menentukan aturan global.
Dengan cadangan minyak mentah mencapai 300 miliar barel, Venezuela bukan hanya sasaran politik, tetapi juga simbol perang energi global. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi AS di Amerika Latin pasca-Perang Dingin memiliki korelasi kuat dengan kepentingan energi. Trump menggunakan isu “perang melawan narkoba” untuk menciptakan justifikasi moral bagi operasi militer, mirip dengan Invasi Irak 2003 yang dikemas sebagai perang melawan terorisme. Sementara itu, Venezuela memainkan kartu “anti-imperialisme” untuk memperoleh simpati global dari negara-negara Selatan yang lelah dengan hegemoni Barat.
Implikasi Global dan Posisi Indonesia
Konflik ini juga mengguncang solidaritas Amerika Latin, mempolarisasi kawasan antara sekutu AS (seperti Kolombia) dan pendukung Venezuela (Kuba, Bolivia, Nikaragua). Polarisasi ini menghidupkan kembali warisan Perang Dingin, di mana Amerika Selatan menjadi ajang proxy conflict antara dua blok ideologis.
Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, eskalasi ini bukan sekadar isu jauh di Amerika Latin, melainkan representasi pergeseran tatanan dunia dengan implikasi langsung terhadap stabilitas energi, perdagangan global, dan arsitektur keamanan internasional. Ketegangan ini memicu guncangan pada rantai pasok energi global, yang berdampak langsung pada negara-negara importir minyak seperti Indonesia. Lonjakan harga minyak mentah dan ketidakpastian pasokan menunjukkan kerapuhan sistem energi dunia yang masih berpusat pada dominasi dolar AS. Dalam hal ini, BRICS melihat peluang untuk mempercepat pembentukan sistem perdagangan energi alternatif berbasis mata uang lokal, seperti inisiatif BRICS Pay, guna menantang hegemoni finansial AS dan menciptakan mekanisme ekonomi yang lebih otonom.
Dukungan Rusia dan Tiongkok terhadap Venezuela juga menunjukkan semakin kuatnya konsolidasi politik di dalam tubuh BRICS. Aksi solidaritas ini bersifat strategis, karena cadangan minyak Venezuela yang digabungkan dengan sumber daya energi BRICS dapat menguasai lebih dari 45 persen pasokan minyak global, mengubah peta kekuatan energi dunia.
Bagi Indonesia, dinamika ini menjadi pengingat akan pentingnya mempertahankan dan menyesuaikan politik luar negeri bebas-aktif di tengah perubahan tatanan global. Indonesia berada pada posisi strategis antara dua kutub kepentingan besar: AS sebagai mitra ekonomi tradisional dan BRICS sebagai poros ekonomi dan energi baru. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Indonesia harus adaptif, pragmatis, dan berorientasi pada kepentingan nasional jangka panjang. Pengalaman Venezuela juga memberikan pelajaran berharga tentang bahaya ketergantungan berlebihan pada ekspor komoditas energi tanpa diversifikasi industri yang memadai, menegaskan perlunya transisi menuju ekonomi berkelanjutan dan berdaya saing global yang tidak hanya fokus pada energi, tetapi juga teknologi, manufaktur, dan kemandirian pangan.