Senin, September 1
Shadow

“Pasar Keuangan Bergejolak: Dari Jalanan Jakarta ke Layar Bloomberg”

Jakarta, 29 Agustus 2025Aksi unjuk rasa besar di Jakarta pada Kamis (28/8) tidak hanya mengguncang jalanan—namun juga menambah tekanan pada pasar keuangan. Investor merespons situasi dengan meningkatkan risiko politik terhadap Indonesia, tercermin dari naiknya imbal hasil obligasi dan premi risiko.

Pelemahan Pasar Secara Nyata Terjadi

Sehari pasca demonstrasi, indeks dolar-riil Indonesia (IHSG) turun lebih dari 2%, sementara nilai tukar rupiah melemah hampir 1% ke level sekitar Rp16.475/$ AS, terendah sejak 1 Agustus. Demonstrasi yang dipicu oleh kematian seorang pengemudi ojek akibat tertabrak kendaraan taktis Brimob dan tuntutan terkait tunjangan anggota DPR ini memicu kekhawatiran akan turbulensi politik lebih lanjut.

Obligasi dan Risiko-Risiko Semakin Meningkat

  • Imbal hasil Obligasi Pemerintah 10 Tahun (SUN) naik menjadi 6,32% pada Jumat (29/8), meningkat 0,02 poin persentase dari hari sebelumnya.
  • Credit Default Swap (CDS) 5 Tahun Indonesia juga melonjak menjadi sekitar 67,726 poin, naik 0,38% dari sebelumnya, sebagai sinyal risiko investasi yang meningkat.

Pakar Indef: Investor Asing dan Lombok Proteksi

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menyatakan bahwa aksi massa seperti ini bisa memicu kapital asing keluar dari pasar keuangan Indonesia. Khususnya pada obligasi berdenominasi rupiah yang sensitif terhadap persepsi risiko. Tekanan itu bisa memicu efek berantai—rupiah tertekan, biaya hedging melonjak, dan aksi jual mendadak dari investor jangka pendek.

Namun, Rizal menilai skala sensitivitas pasar saat ini tidak separah taper tantrum tahun 2013. Hal ini karena kepemilikan asing atas SUN rupiah kini hanya berkisar 14–15%, jauh berkurang dari masa lalu.

Investor asing kemungkinan akan mengambil posisi wait-and-see, dengan investor jangka pendek potensi memendekkan durasi portofolio dan mengurangi eksposur obligasi, sementara investor jangka panjang mungkin memilih melakukan rotasi ke tenor menengah (5–10 tahun) atau memarkir sementara dana ke instrumen likuid, seperti SRBI (Securities Rupiah Bank Indonesia).

Strategi ini juga tergantung pada seberapa cepat ketegangan politik mereda, serta arah kebijakan suku bunga FED pada September mendatang.

Intervensi BI dan Stabilitas Pasar

Menanggapi tekanan pasar, Bank Indonesia (BI) langsung ambil tindakan stabilisasi:

  • Intervensi di pasar valuta asing—baik domestik maupun offshore NDF—untuk meredam pelemahan rupiah.
  • Pembelian SUN di pasar sekunder untuk menyokong likuiditas pasar obligasi.
  • Otoritas bursa (BEI) memastikan bahwa fundamental ekonomi tetap solid, dan melihat koreksi harga sebagai pengingat teknikal, bukan tanda krisis ekonomi.

Mengapa Semua Ini Penting

Dalam suasana gejolak politik, pasar keuangan menuntut ketegasan dan sinyal stabilitas. Respons cepat otoritas moneter melalui intervensi devisa dan pasar obligasi penting untuk mencegah ekskalasi lebih lanjut—baik dari sisi risiko eksternal maupun internal.

Menurut data Trading Economics, imbal hasil SUN 10 tahun kini berada di rentang rendah (~6,3%), menandakan bahwa kenaikan masih terbatas tapi wajar di tengah gejolak politik.

Penutup: Masih Ada Peluang Jika Stabilitas Pulih

Walau gejolak menyebabkan volatilitas sementara, sejumlah analis optimistis bahwa koreksi ini bersifat teknikal dan pasar berpotensi pulih jika stabilitas politik cepat terjalin kembali. Investor jangka panjang bisa jadi masuk kembali begitu tensi mereda, terutama mengingat yield tinggi dan risiko domestik yang mulai terkendali.

Pemerintah dan bank sentral berada di pusat krisis ini—respon cepat mereka menjadi penentu apakah perjalanan ekonomi akan kembali ke jalur riset atau terdorong ke ketidakpastian berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *