
Tahun 2025 akan dikenang dalam sejarah keuangan modern sebagai tahun di mana logam mulia berhenti sekadar menjadi perhiasan dan bertransformasi sepenuhnya menjadi benteng pertahanan ekonomi global. Tepat pada malam Natal, Rabu (24/12/2025), harga emas dunia mencatatkan sejarah baru dengan menembus level psikologis US$ 4.500 per troy ons. Sebuah angka yang setahun lalu mungkin dianggap sebagai prediksi yang terlalu berani, kini menjadi realitas pasar.
Puncak Reli yang Tak Terbendung
Berdasarkan data Bloomberg, harga emas di pasar spot sempat melesat ke titik tertinggi di US$ 4.524,68 per troy ons. Meski sempat terjadi koreksi tipis ke level US$ 4.450 akibat aksi profit taking (ambil untung) oleh investor jangka pendek, sentimen bullish tetap mendominasi lantai bursa.
Lonjakan ini bukan tanpa alasan. Jika ditarik garis lurus sepanjang tahun 2025, emas telah meroket lebih dari 70 persen. Capaian ini merupakan kinerja tahunan terbaik sejak 1979, sebuah era yang juga ditandai oleh inflasi tinggi dan ketidakpastian politik global.
Badai Sempurna: Mengapa Emas Meledak?
Kenaikan fantastis ini dipicu oleh kombinasi faktor-faktor makroekonomi yang saling mengunci, menciptakan apa yang disebut para analis sebagai “badai sempurna”:
- Sinyal Dovish The Fed: Kepala Ekonom First Seafront Fund, Yang Delong, menyoroti bahwa kebijakan moneter Amerika Serikat menjadi motor utama. Dengan ekspektasi setidaknya dua kali lagi penurunan suku bunga pada 2026, indeks dollar AS (DXY) terus merosot. Ketika suku bunga turun, daya tarik emas sebagai aset yang tidak memberikan imbal hasil (yield) justru meningkat karena biaya peluang (opportunity cost) untuk memegangnya menjadi lebih rendah.
- Krisis Utang dan Geopolitik: Ketegangan perdagangan yang dipicu oleh kebijakan proteksionisme AS serta membengkaknya utang federal Paman Sam membuat kepercayaan terhadap mata uang fiat goyah. Bank sentral di berbagai belahan dunia kini beralih memperkuat cadangan devisa mereka dengan emas batangan dibandingkan surat utang.
- Investasi Institusional: Arus dana masuk ke Exchange-Traded Funds (ETF) emas mencapai titik tertinggi baru. Investor institusi kini melihat emas bukan lagi sebagai aset alternatif, melainkan aset inti dalam portofolio strategis mereka.
Baca Juga:
Semifinal Carabao Cup 2025/2026: Derby London dan Bentrok Raksasa Menuju Wembley
Perak dan Platinum: Mengejar Sang “Raja”
Fenomena ini ternyata menular ke logam mulia lainnya. Perak, yang sering dijuluki “emas orang miskin,” justru mencatatkan performa yang lebih liar. Harga perak di pasar spot menyentuh US$ 72,70 per troy ons, mencerminkan kenaikan tahunan sebesar 150 persen.
Lonjakan perak didorong oleh fenomena short squeeze yang terjadi pada Oktober lalu, di mana para spekulan terpaksa membeli kembali posisi mereka di tengah keterbatasan pasokan fisik. Sementara itu, Platinum juga menorehkan tinta emas dengan menembus US$ 2.300 per troy ons. Ketatnya pasokan dari Afrika Selatan dan Rusia, ditambah permintaan tinggi dari industri otomotif untuk teknologi hijau, membuat logam ini kian langka dan mahal.
Dampak di Indonesia: Dari Pegadaian hingga BSI
Di dalam negeri, dampak kenaikan harga global ini terasa nyata bagi masyarakat. Pada 25 Desember 2025, harga emas di gerai retail seperti Pegadaian (Galeri 24 dan UBS) terus merangkak naik, mengikuti grafik dunia yang memanas.
Menariknya, minat masyarakat Indonesia terhadap investasi emas fisik justru meningkat tajam di tengah harga yang tinggi. Data dari Bank Syariah Indonesia (BSI) menunjukkan bahwa permintaan emas batangan melonjak hingga 441 persen. Hal ini menunjukkan pergeseran perilaku konsumen yang kini lebih sadar akan pentingnya hedging (lindung nilai) terhadap inflasi dan fluktuasi nilai tukar Rupiah.
Logam Industri Ikut Terbakar
Tidak hanya logam mulia, tembaga sebagai barometer kesehatan ekonomi industri juga mencetak rekor. Di London Metal Exchange (LME), harga tembaga menembus US$ 12.000 per ton. Ini adalah level tertinggi sejak 2009. Kenaikan tembaga menandakan bahwa meski ada ketidakpastian makro, permintaan untuk infrastruktur energi terbarukan dan kendaraan listrik tetap menjadi penyokong fundamental yang kuat.
Melihat tren saat ini, para pelaku pasar optimis bahwa reli ini belum mencapai garis finis. Selama ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan beban utang negara-negara maju belum teratasi, emas akan tetap menjadi “pelabuhan terakhir” bagi para pemilik modal.
“Emas telah kembali ke fungsinya yang paling murni: sebagai penyimpan nilai yang tidak bisa dimanipulasi oleh kebijakan cetak uang,” tutup Yang Delong. Bagi investor, pertanyaannya kini bukan lagi “kapan harga akan turun,” melainkan “seberapa tinggi rekor baru yang akan tercipta di tahun depan?”