
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas dengan niat mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, kini justru menjadi sorotan negatif akibat serangkaian insiden keracunan makanan. Kasus terbaru dan paling mengkhawatirkan datang dari Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, di mana jumlah korban dugaan keracunan terus melonjak, mencapai 134 orang per Sabtu (4/10/2025) pagi. Insiden ini menambah panjang daftar keraguan terhadap implementasi program yang seharusnya menjadi solusi, bukan masalah.
Lonjakan Korban di Purworejo dan Respons Pemerintah Daerah
Data dari Satgas MBG Purworejo menunjukkan bahwa Puskesmas Bubutan menjadi fasilitas kesehatan yang paling banyak menangani korban, yakni 102 orang. Sisanya tersebar di Puskesmas Bragolan (14 orang), RS Tjokronegoro (10 orang), RS Tjitrowardojo (5 orang), serta beberapa rumah sakit dan puskesmas lain yang masing-masing menangani satu korban. Mayoritas korban, terutama siswa SMPN 8 dan SMAN 3 Purworejo, telah menjalani rawat jalan, namun beberapa di antaranya masih harus dirawat inap.
“Total ada 134 warga yang terdampak dugaan keracunan MBG. Sebagian besar sudah ditangani dengan rawat jalan, hanya beberapa yang harus menjalani rawat inap,” jelas Ketua Satgas MBG Purworejo, Tolkha.
Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan menyatakan komitmen penuh untuk menangani kasus ini. Penyelidikan mendalam sedang dilakukan dengan mengambil sampel makanan untuk diuji di laboratorium guna mengetahui penyebab pasti keracunan. Tolkha juga menegaskan bahwa biaya pengobatan seluruh korban akan ditanggung penuh oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, ia mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan berhati-hati dalam mengonsumsi makanan, sembari terus melakukan pemantauan dan pengawasan.
Gema Masalah Serupa: Kasus di Tasikmalaya dan Ancaman bagi Program Nasional
Fenomena keracunan makanan dari program serupa juga bukan barang baru di Indonesia. Di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, kasus keracunan MBG bahkan telah terjadi tiga kali sepanjang tahun ini. Insiden terakhir pada Rabu (1/10/2025) menimpa 109 pelajar di Cipatujah. Sebelumnya, 400 pelajar di Kecamatan Rajapolah dan 52 pelajar di Cikalong juga mengalami keracunan.
Temuan-temuan mencengangkan di Tasikmalaya semakin memperburuk citra program ini. Orang tua murid seperti Gilang Ramadhan (41) mengungkapkan keprihatinannya, dengan temuan buah-buahan berbelatung, wadah makanan tidak bersih dan berminyak, menu yang sudah basi atau bau, hingga sayuran yang berlendir. “Tujuan Pak Prabowo itu benar, mulia dan ingin anak-anak gizinya terjamin. Tapi, di lapangan, di daerah MBG seperti dijadikan proyek pengusaha-pengusaha orang banyak uang. Jauh, dari kemuliaan. Kami Kasihan ke Pak Prabowo. Korbannya anak-anak kami yang sekolah keracunan,” ungkap Gilang.
Kekhawatiran serupa juga diutarakan Mitha Suryaningsih (42), yang selalu mengingatkan anaknya untuk mengecek makanan MBG sebelum dikonsumsi. “Kita orangtua jadi was-was. Padahal Pak Prabowo baik dan sangat peduli kepada generasi muda. Tolong Pak Presiden, ini para pelaksana-pelaksana di daerahnya yang lebih mementingkan bisnisnya berantas saja, karena MBG dijadikan proyek orang kaya, tanpa mempertimbangkan kualitas gizi makanannya,” ujarnya.
Mitha juga menyoroti janji program MBG yang akan menyentuh UMKM di daerah, namun ia melihat program ini belum memberikan dampak positif. Sebaliknya, program MBG di lapangan seakan dimonopoli oleh pengusaha yang memiliki Dapur Satuan Penyelenggara Pelayanan Gizi (Dapur SPPG) dengan modal besar, yang batas minimal untuk dapur saja bisa mencapai Rp 2 miliar. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dan pemerataan kesempatan dalam implementasi program.
Belajar dari Kasus Global: Skandal Keracunan Massal di TK Tianshui, China

Ironisnya, masalah keracunan makanan sekolah bukan hanya terjadi di Indonesia. Dunia pernah digemparkan dengan kasus serupa di Kota Tianshui, Provinsi Gansu, China, pada tahun 2024. Sebanyak 247 siswa Taman Kanak-kanak (TK) mengalami keracunan massal setelah mengonsumsi makanan sekolah yang mengandung pewarna berbahaya. Kasus ini memicu penyelidikan besar-besaran, penangkapan enam orang, dan pengusutan terhadap hampir 30 pejabat serta staf terkait.
Laporan investigasi Komite Partai Provinsi Gansu mengungkap serangkaian kegagalan dalam pengawasan dan penanganan, termasuk praktik penutupan informasi, pemberian suap, hingga manipulasi hasil tes laboratorium. Terungkap bahwa pihak manajemen TK mengizinkan staf dapur menggunakan pewarna bubuk berlabel “tidak untuk dimakan” yang dibeli secara daring, hanya demi mempercantik tampilan hidangan untuk kepentingan pemasaran. Pewarna tersebut ternyata mengandung kadar timbal yang sangat tinggi, bahkan salah satu pigmen diketahui mengandung kadar timbal hingga 400.000 kali lipat dari batas aman, dan kadar timbal dalam makanan anak-anak melebihi standar keamanan pangan nasional hingga 2.000 kali lipat.
Dampak pada anak-anak sangat memprihatinkan, mulai dari sakit perut, mual, hingga perubahan warna gigi menjadi hitam. Bahkan, beberapa staf sekolah dan kepala sekolah juga menunjukkan kadar timbal tinggi dalam darah. Kasus ini menjadi cerminan kelalaian di hampir semua lini penanganan, mulai dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) yang lalai dalam prosedur pengambilan sampel, hingga Rumah Sakit Rakyat Kedua Tianshui yang memodifikasi hasil tes darah anak-anak secara ilegal. Dinas Pendidikan setempat juga dituding lalai karena membiarkan TK beroperasi tanpa lisensi resmi selama dua tahun.
Pentingnya Pengawasan Ketat dan Transparansi
Insiden-insiden keracunan makanan dari program-program pemberian gizi gratis, baik di Purworejo, Tasikmalaya, maupun Tianshui, menjadi peringatan keras akan pentingnya pengawasan kualitas makanan yang sangat ketat, transparansi dalam pengelolaan program, dan akuntabilitas para pelaksana di lapangan. Niat mulia program tidak boleh tercoreng oleh kelalaian, keserakahan, atau kurangnya profesionalisme. Anak-anak, sebagai generasi penerus bangsa, berhak mendapatkan asupan gizi yang aman dan berkualitas, bukan malah menjadi korban dari sebuah program yang seharusnya menyejahterakan. Pemerintah perlu segera mengevaluasi secara menyeluruh, mengambil tindakan tegas, dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.