Desember 6, 2025
Foto udara limpahan banjir bandang di kawasan Pasar Baru, Padang, Sumatera Barat, Jumat (28/11/2025). Banjir bandang terjadi pada Jumat (28/11/2025) dini hari dan semakin meluas akibat jebolnya bendungan Gunung Nago di Pauh, sehingga mengakibatkan jembatan putus, sejumlah rumah rusak dan warga mengungsi. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/sgd

Sumatra, 3 Desember 2025 – Pulau Sumatra sedang menghadapi salah satu babak terkelam dalam sejarah kebencanan nasional. Hujan deras yang mengguyur wilayah ini bukan hanya membawa air, tetapi juga menyingkap tabir kerusakan ekologis yang parah. Berdasarkan pembaruan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Rabu pagi, angka kematian akibat banjir bandang dan tanah longsor di Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) telah menembus angka psikologis yang mengerikan: 753 jiwa melayang.

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi dari hilangnya nyawa manusia dalam skala masif. Selain korban jiwa, BNPB juga mencatat 650 orang masih dinyatakan hilang, memicu kekhawatiran bahwa jumlah korban tewas akan terus bertambah seiring berjalannya proses evakuasi. Sementara itu, rumah sakit dan posko kesehatan kini merawat 2.600 warga yang mengalami luka-luka. Secara keseluruhan, bencana hidrometeorologi ini telah berdampak pada kehidupan 3,3 juta jiwa yang tersebar di 50 kabupaten di tiga provinsi tersebut.

Keruntuhan Infrastruktur dan Krisis Pengungsian

Foto udara pengendara melintasi jalan nasional Medan-Banda Aceh yang terendam banjir di Desa Peuribu, Arongan Lambalek, Aceh Barat, Aceh, Kamis (27/11/2025). Bencana banjir yang melanda 16 kabupaten/kota di Aceh selain berdampak pada ratusan ribu warga juga merusak sejumlah badan jalan dan jembatan sehingga memutuskan akses transpotasi darat. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.

Dampak fisik dari bencana ini melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hingga pukul 07.15 WIB, data menunjukkan bahwa 576.300 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan hidup di pengungsian dengan kondisi yang serba terbatas. Mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga akses terhadap fasilitas publik yang vital.

Kerusakan infrastruktur tercatat sangat masif. Sebanyak 299 jembatan putus, memutus akses bantuan ke daerah-daerah terisolasi. Sektor pendidikan dan keagamaan pun tak luput dari hantaman bencana, dengan 323 fasilitas pendidikan dan 129 tempat ibadah mengalami kerusakan. Di sektor kesehatan, sembilan fasilitas medis dilaporkan rusak, mempersulit penanganan korban luka.

Kerugian materil terbesar dialami oleh warga sipil. Ribuan rumah hancur diterjang lumpur dan material longsor. BNPB merinci terdapat 3.600 rumah rusak berat, 2.100 rusak sedang, dan 3.700 rusak ringan. Pemandangan desa-desa yang rata dengan tanah menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya energi yang dilepaskan oleh alam kali ini.

Bukan Sekadar Cuaca Ekstrem: Fakta Deforestasi

Meskipun curah hujan tinggi menjadi pemicu, berbagai pihak menilai bahwa “kambing hitam” bencana ini bukanlah cuaca semata. Narasi yang menyebutkan cuaca ekstrem sebagai penyebab tunggal mulai dipatahkan oleh temuan-temuan lapangan yang mengarah pada krisis ekologis akibat ulah manusia. Isu deforestasi atau penggundulan hutan kini menjadi sorotan utama nasional.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara memberikan bantahan keras terhadap pernyataan Gubernur Sumatera Utara yang menitikberatkan pada faktor cuaca. Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, menegaskan bahwa pemicu utamanya adalah alih fungsi lahan yang tak terkendali. Data Walhi menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, sekitar 2.000 hektare hutan di Sumut telah lenyap.

Analisis citra satelit dari tahun 2016 hingga 2025 memperkuat dugaan ini, memperlihatkan pola pembukaan lahan yang masif. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai spons alami penyerap air telah berubah menjadi area non-hutan, menyebabkan air hujan meluncur deras tanpa hambatan menuju pemukiman warga. Bencana ini, menurut para aktivis lingkungan, adalah akumulasi dari kerusakan hutan yang terjadi secara sistematis.

Sorotan pada Korporasi dan Izin Konsesi

Senada dengan Walhi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan YLBHI Regional Barat menyoroti aspek perizinan yang bermasalah. Mereka menilai bencana ini berkaitan erat dengan masifnya pemberian izin konsesi kepada perusahaan pertambangan dan perkebunan. Di Sumatera Barat, misalnya, LBH mencatat ratusan ribu hektare hutan rusak dalam rentang 2020-2024. Kerusakan ini bahkan merambah ke kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk wilayah perbukitan di Taman Nasional Kerinci Seblat yang seharusnya sakral dari aktivitas industri.

Merespons dugaan ini, pemerintah pusat mulai mengambil langkah tegas. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan adanya indikasi keterlibatan delapan perusahaan yang beroperasi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Tapanuli Selatan. Perusahaan-perusahaan ini bergerak di sektor tanaman industri, tambang emas, hingga kelapa sawit.

Kementerian Lingkungan Hidup telah melayangkan panggilan kepada delapan perusahaan tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban. Pemerintah menuntut transparansi, termasuk permintaan data citra satelit resolusi tinggi dari perusahaan untuk membuktikan asal-usul kayu-kayu gelondongan yang hanyut terbawa banjir. Langkah ini diambil untuk memverifikasi apakah material tersebut berasal dari aktivitas penebangan di wilayah konsesi mereka yang memperparah dampak banjir.

Bukti Visual: Gelondongan Kayu “Tua”

Rekam citra satelit 2016 hingga 2025 menunjukkan masifnya pembukaan lahan di Sumatra Utara yang diduga menjadi penyebab banjir.

Isu mengenai gelondongan kayu yang viral di media sosial turut memantik respons dari Ketua MPR, Ahmad Muzani. Dalam keterangannya di Istana Kepresidenan, Muzani meragukan bahwa kayu-kayu raksasa yang hanyut tersebut adalah pohon yang tumbang akibat badai baru-baru ini.

Secara visual, kayu-kayu tersebut tampak sebagai hasil tebangan lama—potongan rapi yang menumpuk dan kemudian tersapu air. Hal ini mengindikasikan adanya praktik pembalakan liar atau illegal logging yang telah berlangsung lama dan dibiarkan menumpuk di hulu sungai. Muzani memperingatkan bahwa jika dugaan ini benar, maka ada praktik pembalakan liar tak terkendali yang menjadi katalisator bencana ini. Ia mendesak pemerintah untuk memberikan atensi khusus, mengingat pembiaran terhadap kejahatan lingkungan ini hanya akan menanam benih bencana yang lebih besar di masa depan.

Bencana di Sumatra kali ini menjadi alarm keras bagi Indonesia. Ratusan nyawa yang hilang dan jutaan warga yang terdampak adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar akibat kelalaian dalam menjaga keseimbangan alam. Penegakan hukum terhadap perusak hutan, evaluasi izin konsesi, dan rehabilitasi lahan kritis kini bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mendesak demi mencegah tragedi serupa terulang kembali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *