
Dunia investasi sedang menyaksikan anomali besar di penghujung tahun 2025. Lanskap pasar global kini terbelah menjadi dua kutub yang sangat kontras: kemilau menyilaukan dari logam mulia dan bayang-bayang kelabu yang menyelimuti pasar kripto. Di saat para kolektor emas merayakan rekor demi rekor, para loyalis Bitcoin justru harus gigit jari melihat aset mereka tertinggal jauh di belakang.
Pesta Tanpa Henti di Pasar Logam: Emas Menembus $4.550
Pada penutupan perdagangan Jumat (27/12/2025), sejarah baru kembali tercipta. Harga emas berjangka secara spektakuler menembus level $4.550 per troy ons. Ini bukan sekadar kenaikan biasa; sepanjang tahun 2025 saja, emas telah mencatatkan rekor tertinggi lebih dari 50 kali. Secara akumulatif, sang “Safe Haven” ini telah melonjak hampir 70% hanya dalam waktu satu tahun kalender.
Namun, kejutan sebenarnya justru datang dari “saudara tiri” emas, yakni perak. Logam putih ini mencatatkan performa yang bahkan lebih eksplosif dengan menembus level $75 per troy ons. Dengan kenaikan mencapai 150% sejak awal tahun (YtD), perak resmi menjadi salah satu aset dengan performa terbaik di dekade ini.
Kenaikan masif ini tidak terjadi tanpa alasan. Selain faktor inflasi global yang belum sepenuhnya terkendali, ada kekhawatiran nyata mengenai ketersediaan pasokan fisik. Permintaan industri untuk teknologi hijau dan semikonduktor telah menguras stok tembaga, platinum, dan perak ke level kritis, yang pada gilirannya mendorong seluruh sektor komoditas logam ke zona rekor.
Paradox Kripto: Ketika “Emas Digital” Kehilangan Taji
Berbanding terbalik dengan kemilau emas, pasar aset kripto justru terjebak dalam tren deselerasi yang mengkhawatirkan. Bitcoin, yang selama bertahun-tahun diagungkan sebagai “emas digital,” kini tampak kesulitan bernapas. Hingga akhir Desember 2025, Bitcoin mencatat kinerja negatif sebesar 6% (YtD), sementara Ethereum (Ether) mengalami kontraksi lebih dalam mencapai 12%.
Padahal, secara fundamental, ekosistem kripto terlihat lebih matang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Regulasi di berbagai negara sudah lebih jelas, dan adopsi institusional dari Wall Street terus mengalir melalui produk-produk ETF yang semakin beragam. Namun, untuk pertama kalinya sejak tahun 2014, korelasi Bitcoin dengan pasar saham (khususnya saham teknologi) resmi terputus.
Penurunan ini diperparah oleh aksi jual besar-besaran oleh pemegang jangka panjang (long-term holders) yang mulai kehilangan kesabaran. Puncaknya, likuidasi paksa di pasar derivatif mendorong harga Bitcoin terjun bebas sekitar 30%, dari rekor tertingginya di $126.000 pada Oktober lalu hingga terhempas ke level $87.000 per koin pada hari ini.
Baca Juga:
Kritik Pedas Para Begawan Investasi
Kesenjangan kinerja yang melebar ini memicu komentar pedas dari para analis kawakan. Louis Navellier, pendiri Navellier & Associates, memberikan saran yang sangat tajam bagi para investor.
“Waktunya telah tiba bagi investor kripto untuk mengakui realitas pasar dan beralih ke emas. Dengan stabilitas likuiditas dan dukungan masif dari pembelian bank sentral dunia, emas menawarkan keamanan yang tidak bisa diberikan oleh volatilitas ekstrem kripto saat ini,” ungkap Navellier.
Senada dengan itu, pengamat pasar dan pendukung setia emas, Peter Schiff, menggunakan media sosial X untuk menyindir stagnasi Bitcoin. Schiff mempertanyakan relevansi Bitcoin sebagai aset lindung nilai: “Jika Bitcoin tidak naik saat saham teknologi reli, dan juga diam saja saat emas dan perak terbang tinggi, lantas kapan dia akan naik? Jawabannya jelas: tidak akan.”
Analisis Fundamental: Apa yang Salah dengan Bitcoin?
Sean Farrell, Kepala Aset Digital di Fundstrat, mencoba memberikan perspektif yang lebih moderat. Menurutnya, pergerakan Bitcoin yang terjebak dalam rentang sempit (sideways) sebenarnya adalah proses konsolidasi setelah pertumbuhan eksponensial di masa lalu. Namun, ia tidak menampik bahwa tekanan jual dari sisi pasokan fisik—di mana investor lebih memilih aset yang bisa “disentuh” di tengah ketidakpastian geopolitik—menjadi beban berat bagi Bitcoin.
Memasuki tahun 2026, peta kekuatan investasi tampaknya telah bergeser. Dominasi emas yang didukung oleh kelangkaan fisik dan kebutuhan industri nyata terbukti lebih tangguh dibandingkan narasi digital yang masih rentan terhadap sentimen likuiditas.
Bagi para investor, fenomena akhir 2025 ini memberikan pelajaran berharga: diversifikasi bukan sekadar memiliki aset yang berbeda, tetapi memahami kapan sebuah narasi (seperti “emas digital”) tidak lagi sejalan dengan realitas pergerakan harga di pasar. Saat ini, mahkota raja aset masih kokoh dipegang oleh emas fisik.