November 9, 2025

Tragedi di Rio: Operasi Antinarkoba Berdarah dan Seruan Keadilan

Rio de Janeiro, 29 Oktober 2025 – Kota Rio de Janeiro kembali bergejolak dalam tragedi kemanusiaan menyusul operasi antinarkoba besar-besaran yang dilancarkan oleh otoritas Brasil. Ratusan jenazah bergelimpangan di jalanan, menjadi saksi bisu bentrokan sengit antara aparat kepolisian dan kelompok narkoba Comando Vermelho. Insiden ini telah memicu gelombang protes, kecaman internasional, dan seruan mendesak untuk keadilan serta reformasi penegakan hukum.

Rentetan Kematian yang Mengerikan

Operasi yang telah direncanakan selama lebih dari dua bulan ini, bertujuan untuk “mengusir para tersangka ke kawasan hutan” di favela-favela padat penduduk seperti Alemao dan Penha, di mana unit khusus telah disiapkan untuk penyergapan. Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah horor yang tak terduga. Hingga Rabu, 29 Oktober 2025, otoritas setempat melaporkan sedikitnya 121 orang tewas, termasuk empat polisi, dalam serangkaian penggerebekan tersebut. Angka ini dengan cepat dibantah oleh organisasi bantuan hukum publik yang menyebut jumlah korban bisa mencapai 132 orang, melebihi catatan resmi polisi.

Victor Santos, Kepala Keamanan Negara Bagian Rio, mengakui bahwa tingkat kematian yang tinggi ini “dapat diperkirakan tetapi tidak diinginkan,” dan berjanji akan menyelidiki dugaan “pelanggaran prosedur” oleh aparat. Namun, bagi warga yang menyaksikan pemandangan mengerikan, janji itu terasa hampa.

Jeritan Protes dari Warga yang Berduka

Pemandangan paling memilukan terjadi di kawasan Penha. Warga yang berduka memungut puluhan jasad dari hutan di sekitar permukiman mereka, kemudian menyusun lebih dari 70 mayat berjajar di tengah jalan utama sebagai bentuk protes. “Saya hanya ingin membawa anak saya pulang dan memakamkannya,” ujar Taua Brito, seorang ibu korban, di tengah derai tangis pelayat dan warga yang memadati lokasi.

Sore harinya, konvoi sepeda motor berangkat dari Penha menuju istana gubernur. Para pengunjuk rasa mengibarkan bendera Brasil yang dilumuri cap tangan merah, simbol darah korban, meneriakkan “Pembunuh! Pembunuh!” Mereka menuntut keadilan, mempertanyakan penggunaan kekuatan berlebih oleh polisi, dan menyerukan pengunduran diri Gubernur Rio de Janeiro, Claudio Castro.

Barbara Barbosa, salah satu ibu korban yang anaknya tewas dalam operasi itu, dengan tegas menyatakan, “Ini pembantaian,” bukan sekadar operasi penangkapan. Protes serupa juga disuarakan oleh aktivis hak asasi manusia Rute Sales, yang bertanya retoris, “Apakah kita punya hukuman mati?”

Kecaman Internasional dan Bukti Dugaan Eksekusi

Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk keras jumlah korban tewas yang luar biasa tinggi, menyebutnya sebagai “tren penggunaan kekuatan ekstrem oleh aparat di komunitas miskin Brasil.” PBB mendesak penyelidikan yang cepat dan efektif sesuai hukum hak asasi manusia internasional.

Keluarga korban dan pengacara hak asasi manusia seperti Guilherme Pimentel melaporkan adanya bukti-bukti eksekusi di luar hukum. Mereka menemukan tanda-tanda penyiksaan pada jenazah, seperti luka tembak di wajah dan leher, bekas ikatan di tangan, bahkan luka bakar dan kondisi terikat pada beberapa korban. Kesaksian ini memperkuat dugaan bahwa banyak korban dibunuh secara brutal, bukan sekadar tewas dalam baku tembak.

Pembelaan Gubernur dan Ancaman “Narkoterorisme”

Meskipun gelombang kritik meningkat, Gubernur Rio Claudio Castro tetap membela tindakan aparatnya. Ia meyakini seluruh korban adalah anggota geng bersenjata yang menembaki polisi dari dalam hutan. “Saya tidak berpikir ada orang yang berjalan-jalan di hutan pada hari bentrokan. Karena itu, kami yakin mereka adalah penjahat,” ujar Castro. Ia menambahkan bahwa operasi itu ditujukan untuk melawan apa yang ia sebut sebagai “narkoterorisme,” dan menegaskan, “Korban yang sebenarnya hanyalah para polisi.”

Pemerintah negara bagian Rio menyebut operasi ini sebagai yang terbesar sepanjang sejarah dalam upaya memberantas Comando Vermelho, geng narkoba yang menguasai perdagangan obat terlarang di sejumlah favela padat. Polisi melaporkan penangkapan 113 tersangka dan penyitaan 118 senjata api. Video yang diunggah Gubernur Castro menunjukkan drone melepaskan proyektil, yang ia klaim membuktikan ancaman “narkoterorisme” yang dihadapi aparat.

Seruan Presiden Lula untuk Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang “terkejut” dengan operasi berdarah ini tanpa pemberitahuan federal, menyerukan perang terhadap kekerasan narkoba namun menekankan bahwa penegakan hukum harus dilakukan tanpa mengorbankan warga sipil. “Kita tidak bisa membiarkan kejahatan terorganisir terus menghancurkan keluarga dan menyebarkan kekerasan di kota-kota,” tulis Lula di platform X. Ia juga menegaskan pentingnya koordinasi antara lembaga negara agar operasi semacam ini tidak lagi menimbulkan korban massal. Menteri Kehakiman Ricardo Lewandowski bahkan akan mengirimkan sedikitnya 50 polisi federal ke Rio untuk membantu memberantas kejahatan terorganisir.

Kontroversi Menjelang Acara Global

Operasi besar-besaran ini digelar hanya beberapa hari sebelum dua acara besar berlangsung di Rio de Janeiro, yakni KTT C40 yang mempertemukan lebih dari 100 wali kota dunia, serta Earthshot Prize milik Pangeran William yang akan dihadiri sejumlah selebritas. Rio de Janeiro memang dikenal sering melakukan operasi keamanan berskala besar menjelang acara internasional, namun kali ini, dampaknya telah menodai citra kota dan memicu perdebatan serius tentang pendekatan penegakan hukum di Brasil.

Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) telah menyerukan kepada Gubernur Claudio Castro untuk memveto rancangan undang-undang yang memberikan bonus besar bagi polisi yang berhasil “menetralisir” tersangka. HRW menilai aturan ini berpotensi meningkatkan jumlah pembunuhan oleh aparat, karena “menciptakan insentif finansial untuk menembak alih-alih menangkap tersangka.”

Tragedi di Rio de Janeiro bukan hanya sekadar operasi antinarkoba; ini adalah cerminan dari konflik sosial yang mendalam, kesenjangan, dan perdebatan tentang batas-batas kekuatan negara dalam menjaga ketertiban. Seruan untuk keadilan bagi para korban, reformasi penegakan hukum, dan pendekatan yang lebih manusiawi dalam memerangi kejahatan narkoba kini menggema lebih keras dari sebelumnya. Masa depan Rio, dan mungkin seluruh Brasil, akan sangat bergantung pada bagaimana otoritas menanggapi krisis kemanusiaan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *