November 9, 2025

Teknologi AI Uni Emirat Arab dan Dilema Hubungan dengan China: Sebuah Tinjauan Kompleks

Hubungan antara Uni Emirat Arab (UEA) dan Amerika Serikat (AS) terus menjadi sorotan, terutama dalam konteks teknologi dan keamanan nasional. Sebuah laporan dari The Financial Times (FT) pada tahun 2022, berdasarkan informasi intelijen AS, mengungkap bahwa UEA diduga memberikan teknologi kepada China yang digunakan untuk meningkatkan jangkauan rudal udara-ke-udara mereka. Kabar ini menambah kompleksitas dalam upaya AS untuk membatasi akses China terhadap teknologi canggih.

G42 dan Transfer Teknologi yang Dipertanyakan

Menurut laporan FT, teknologi yang dimaksud disalurkan ke China oleh G42, sebuah grup AI terkemuka di UEA yang diketuai oleh penasihat keamanan nasional UEA, Sheikh Tahnoon bin Zayed al-Nahyan. Laporan tersebut mengutip sumber yang mengatakan bahwa teknologi G42 diteruskan ke perusahaan teknologi China, Huawei. Lebih lanjut, sumber-sumber tersebut menyatakan bahwa teknologi ini digunakan untuk meningkatkan rudal udara-ke-udara PL-15 dan PL-17 milik China, yang diyakini memberikan keunggulan signifikan atas AS.

Teknologi yang diberikan G42 kepada Huawei disebut mencakup perangkat lunak untuk mengoptimalkan penerbangan dan meningkatkan akurasi rudal. Meskipun tidak jelas apakah G42 mengetahui bahwa teknologi tersebut akan digunakan oleh Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), para pejabat AS sangat prihatin. Mereka percaya bahwa peningkatan kemampuan rudal ini dapat memberi jet tempur China lebih banyak waktu untuk menargetkan pesawat tempur Amerika dalam potensi konflik di Taiwan. Kasus ini menyoroti konsep “penggunaan ganda” teknologi, di mana inovasi yang tidak secara eksplisit terkait dengan sistem persenjataan dapat dimanfaatkan untuk tujuan militer.

G42, yang didukung oleh investor besar seperti Microsoft dan Mubadala, membantah laporan tersebut sebagai “tidak berdasar dan memfitnah”, menyatakan tuduhan tersebut bermotif politik. Namun, kekhawatiran AS tetap tinggi, mencerminkan ketegangan yang meningkat dalam hubungan kedua sekutu lama tersebut.

Hubungan AS-UEA di Bawah Tekanan

Hubungan antara UEA dan pemerintahan AS, khususnya di bawah Presiden Joe Biden, telah mengalami pasang surut. Pada tahun 2022, terjadi kerenggangan akibat perbedaan pendapat di Timur Tengah dan Eropa. Para pejabat Biden mengkritik UEA karena dianggap membiarkan Rusia menghindari sanksi AS setelah invasi ke Ukraina. Di sisi lain, UEA merasa kecewa atas respons AS terhadap serangan pesawat nirawak Houthi Yaman di wilayah mereka.

Sebelumnya, pemerintahan Biden juga menekan UEA untuk menghentikan pembangunan proyek pelabuhan China di dekat Abu Dhabi, karena dicurigai memiliki potensi tujuan militer. Informasi intelijen yang bocor pada tahun 2023 menunjukkan bahwa pembangunan pangkalan tersebut terus berlanjut meskipun ada lobi dari Amerika.

Di era Presiden Donald Trump, hubungan AS-UEA secara umum lebih baik. Namun, bahkan pada masa itu, kekhawatiran pejabat AS tentang kedekatan UEA dengan China, terutama di bidang teknologi, sudah mulai terlihat.

Pergeseran Kebijakan dan Akses Chip AI

Pentingnya teknologi AI dalam geopolitik modern semakin terasa. Pada Mei 2025, ketika Trump mengunjungi UEA, kedua negara mencapai kesepakatan signifikan. AS menyetujui ekspor chip AI senilai miliaran dolar ke UEA, sebuah perjanjian yang sebelumnya menghadapi pembatasan ketat karena kekhawatiran Washington tentang akses China terhadap teknologi tersebut.

Perjanjian awal antara AS dan UEA memperkirakan negara Teluk tersebut akan membeli hingga 500.000 chip AI tercanggih Nvidia setiap tahun, mulai tahun 2025. Dari jumlah tersebut, 400.000 chip akan dialokasikan untuk pusat data dan proyek AI yang dikelola perusahaan-perusahaan AS di UEA. Namun, sebagian besar, 100.000 chip, direncanakan akan langsung diberikan kepada G42, meskipun laporan Bloomberg menyebutkan bahwa lisensi awal tidak mencakup chip apa pun untuk G42.

Perjanjian ini menandai perubahan besar dalam kebijakan proteksionis AS, yang selama bertahun-tahun berupaya mengekang akses China ke semikonduktor canggih. Gedung Putih menyatakan bahwa perjanjian tersebut mencakup komitmen UEA untuk berinvestasi, membangun, atau membiayai pusat data AS yang setidaknya sama besar dan kuatnya dengan yang ada di UEA. Selain itu, UEA berkomitmen untuk menyelaraskan peraturan keamanan nasional mereka dengan AS, termasuk perlindungan kuat untuk mencegah pengalihan teknologi asal AS.

Kampus AI seluas 25,9 km persegi di Abu Dhabi dengan kapasitas daya 5 gigawatt untuk pusat data AI, yang akan dibangun oleh G42, merupakan salah satu hasil dari perjanjian ini. Namun, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menekankan bahwa “perusahaan-perusahaan Amerika akan mengoperasikan pusat data dan menawarkan layanan cloud yang dikelola Amerika di seluruh wilayah.”

Meskipun kesepakatan ini memungkinkan UEA untuk memperdalam kemitraan teknologinya dengan AS, negara Teluk tersebut tetap menjaga hubungan dagang dengan China. Perusahaan-perusahaan besar China seperti Huawei dan Alibaba Cloud masih beroperasi di UEA. Ada juga laporan tentang penyelundupan chip AI terorganisir ke China dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan UEA. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun AS berupaya keras mengontrol aliran teknologi canggih, kompleksitas hubungan global dan jaringan pasokan yang rumit akan terus menjadi tantangan. Dilema UEA terletak pada upaya menyeimbangkan aliansi strategis dengan AS sambil tetap memanfaatkan peluang ekonomi dari kemitraan dengan China.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *